Selasa, 31 Januari 2012

Muawiyah Ra mencela Ali bin Abi Tholib Ra adalah riwayat palsu

Riwayat yang disebarkan oleh kaum sesat Syiah Rafidhoh bahwa Muawiyah Ra dan bani Ummayah secara umum melaknat Ali bin Tholib adalah riwayat yang tidak benar. Hal, ini diungkapkan anggota Komisi dan Pengkajian MUI Pusat, ustadz Fahmi Salim, MA.
“Cerita tentang Muawiyah dan bani Umayyah melaknat Ali selama 70 tahun itu riwayat-riwayat palsu semua,” kata ustadz Fahmi Salim kepada arrahmah.com di kantor MUI Pusat, Jl. Proklamasi, Jakarta Selasa (24/1).
Beliau menjelaskan, bahwa riwayat-riwayat tersebut hanya ada di kitab-kitab sejarah yang ditulis di masa-masa akhir atau belakangan seperti Al Kamil fit Tarikh, Tarikhul khulafa As Suyuti, dan Mu’jamul Buldan. Bahwa asal muasal berita yang mengatakan bahwa kebijakan Bani Umayyah mencela Imam Ali ibn Abi Thalib di mimbar-mimbar jumat dan baru dihilangkan itu oleh ‘Umar ibn Abdul Aziz, bersumber dari Ibnu Sa’ad dalam kitab Thabaqat, yang ia riwayatkan dari Ali ibn Muhammad al-Madaini dari gurunya Luth ibn Yahya. Berita semacam ini tidak benar dan sudah diteliti oleh Dr. Ali Muhammad Shallabi dalam bukunya Al-Khalifah Al-Rasyid Umar bin Abdul Aziz.
“Riwayatnya tidak ada yang shohih. Ali bin Muhammad Al Madaini dan Luth bin Yahya sering meriwayatkan dari Syiah,” ujar ustadz Fahmi yang menjelaskan bahwa Ibnu Sa’ad bukan Syi’ah, hanya saja tasahul (terlalu mudah) dalam mengambil dari riwayat syi’ah.
Sambung Ustadz Fahmi, cerita tersebut memang sering diexpose oleh syi’ah, untuk menunjukkan bahwa bukan mereka saja yang senang mencela para sahabat.
“Ini semacam counter attack dari Syi’ah, bahwa Sunni juga mencaci maki Ali bin Abi Tholib,” tukasnya.
Sebagian ulama mengkafirkan Syi’ah Istna Asyariyah, menurutnya bukan karena mencaci maki sahabat, akan tetapi ulama mengkafirkan mereka karena doktrin mereka tentang tahrif (adanya perubahan) pada Al-Qur’an dan doktrin Imamah.
“Mencaci maki sahabat hanya dampak dari keyakinan Imamah Syiah, itu furuiyah (cabang). Jika mereka sudah tidak meyakini Imamah, tidak akan mencela sahabat,” pungkasnya.
Dr. Ali Muhammad Shallabi sendiri dalam bukunya Al-Khalifah Al-Rasyid Umar bin Abdul Aziz (Shallabi: 107) menerangkan bahwa hampir semua pakar dan imam hadis ahlisunnah menilai Ali Al-Madaini dan Luth ibn Yahya sebagai perawi yang tidak bisa dipercaya dan terbiasa meriwayatkan dari orang-orang yang lemah hafalannya dan tak dikenal (majhul).
Selain tinjauan ilmu riwayat hadis, Shallabi juga menganalisis bahwa tidak benar pula fakta puluhan tahun Imam ‘Ali dikutuk Bani Umayyah, sementara kitab-kitab sejarah yang ditulis semasa dengan daulah Umayyah tidak pernah menceritakan adanya fakta sejarah itu.
Kisah itu baru ditulis oleh para ahli sejarah mutakhir dalam kitab-kitab yang disusun pada era Bani Abbasiyah dengan motif politis, untuk menjelek-jelekkan citra Bani Umayyah di tengah umat.
Shallabi juga yakin bahwa kisah itu baru disusun dalam kitab Muruj al-Dzahab karya Al-Mas’udi (Syi’i) dan penulis syiah lainnya hingga kisah fiktif itu ikut tersusupi ke dalam kitab tarikh ahlisunnah yang ditulis belakangan seperti Ibnul Atsir dalam Al-Kamil fi Tarikh.             Namun tidak ada sandaran satupun riwayat yang sahih.

Pengenalan Qabilah



Dalam kitab suci Al-Quran Al-Karim Allah swt telah berfirman:
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan noda-dosa dari kamu wahai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya"
(Al-Ahzab: 33)
Dan dari riwayat Umar bin Khattab r.a ia mengatakan, bahawa aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:
"Setiap sebab (penyebab pertalian keturunan) mahupun nasab (pengikat garis keturunan) akan terputus pada hari kiamat, kecuali sebab dan nasabku, dan setiap keturunan dinisbatkan kepada pengikat keturunannya yakni ayah mereka, kecuali putera-putera Fatimah, maka sesungguhnya akulah ayah mereka dan tali pengikat keturunan mereka"
(Hadis riwayat Al-Baihaqi, Al-Thabrani dll)
Juga Imam Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak mengeluarkan sebuah hadits riwayat sahabat Jabir, bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Bagi setiap keturunan dari seorang Ibu ada pengikat keturunannya, kecuali putera Fatimah, akulah wali mereka dan tali pengikat keturunan mereka".
Saudaraku Keturunan Alawiyyin
Wahai Alawi…
Sesungguhnya nasab anda yang mulia dan memberikan kehormatan pada anda oleh adanya hubungan kekeluargaan anda dengan Rasul Yang Agung Muhammad saw melalui Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali Al-Murtadha (Yang ditinggikan Allah swt martabat dan kedudukannya).
Hendaknya dapat menjadi pendorong bagi anda untuk senantiasa berteladan kepada mereka, berjalan lurus mengikuti jalan hidup mereka, berakhlaq seperti akhlaq mereka, berpegang teguh pada prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran mereka dan mengikuti jejak para Imam keturunan mereka, sehingga anda Insyaallah dapat menjadi generasi penerus yang baik daripada generasi pendahulu.
Selanjutnya ketahuilah, bahawa nasab yang mulia ini menuntut anda untuk senantiasa:
  1. Membuang jauh-jauh perasaan angkuh dan bangga diri.
  2. Menjadikan TAQWA sebagai bekal hidup anda.
  3. Menjadikan AL-QURAN sebagai pedoman dan tuntutan dalam kehidupan anda.
  4. Menjadikan para SHALIHIN pendahulu anda sebagai panutan

BIOGRAFI DAN MAKSUD MASING-MASING LELUHUR


ALAWIYYIN

Penjelasan

  1. Nara Sumber Biografi masing-masing Leluhur Alawiyyin adalah
    1. Kitab "Silsilah Al-Junid" oleh Al-Allamah Assayid Ali bin Muhammad Al-Junid.
    2. Kitab "Syamsyuddahirah" oleh Al-Allamah Assayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyur.
    3. Kitab "Khidmatul – Asyirah" oleh Al-Allamah Assayid Ahmad bin Abdullah Asseggaf.
  2. Nara Sumber Gelar (julukan) masing-masing Alawiyyin adalah
    1. Kitab "Al-Mu'Jamul Lathif" oleh Al-Allamah Assayid Muhammad bin Ahmad bin Umar Al-Sya'thiriy.

Kisah Al-Imam Muhammad Al-Baqir





                                                                                 

|
Fatimah Az-Zahro’
|
Sayedina Hussein
|
Ali Zainal Abidin
|
Muhammad Al-Baqir


Beliau adalah Al-Imam Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Digelari Al-Baqir (yang membelah bumi) karena kapasitas keilmuan beliau yang begitu mendalam sehingga diibaratkan dapat membelah bumi dan mengeluarkan isinya yang berupa pengetahuan-pengetahuan. Nama panggilan beliau adalah Abu Ja’far.
Al-Imam Ibnu Al-Madiny meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah (semoga Allah meridhoi mereka berdua) bahwasannya Jabir berkata kepada Imam Muhammad Al-Baqir yang pada waktu itu masih kecil,
 
 “Rasulullah SAW mengirimkan salam untukmu.” Beliau bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?.” Jabir menjawab, “Pada suatu hari saya sedang duduk bersama Rasulullah SAW, sedangkan Al-Husain (cucu beliau) lagi bermain-main di pangkuan beliau. Kemudian Rasulullah SAW berkata, ‘Pada suatu saat nanti, dia (yaitu Al-Husain) akan mempunyai seorang putra yang bernama Ali (Zainal Abidin). Jika hari kiamat datang, akan terdengar seruan, ‘Berdirilah wahai pemuka para ahli ibadah.’ Maka kemudian putranya (yaitu Ali-Zainal Abidin) itu akan bangun. Kemudian dia (yaitu Ali Zainal Abidin) akan mempunyai seorang putra yang bernama Muhammad. Jika engkau sempat menjumpainya, wahai Jabir, maka sampaikan salam dariku.’ “

Beliau, Muhammad Al-Baqir, adalah keturunan Rasul SAW dari jalur ayah dan ibu. Beliau adalah seorang yang berilmu luas. Namanya menyebar seantero negeri. Ibu beliau adalah Ummu Abdullah, yaitu Fatimah bintu Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau dilahirkan di kota Madinah pada hari Jum’at, 12 Safar 57 H, atau 3 tahun sebelum gugurnya ayahnya, Al-Imam Al-Husain.
Dari sebagian kalam mutiara beliau adalah,
“Tidaklah hati seseorang dimasuki unsur sifat sombong, kecuali akalnya akan berkurang sebanyak unsur kesombongan yang masuk atau bahkan lebih.”
“Sesungguhnya petir itu dapat menyambar seorang mukmin atau bukan, akan tetapi tak akan menyambar seorang yang berdzikir.”
“Tidak ada ibadah yang lebih utama daripada menjaga perut dan kemaluan.”
“Seburuk-buruknya seorang teman itu adalah seseorang yang hanya menemanimu ketika kamu kaya dan meninggalkanmu ketika kamu miskin.”
“Kenalkanlah rasa kasih-sayang di dalam hati saudaramu dengan cara engkau memperkenalkannya dulu di dalam hatimu.”
Beliau jika tertawa, beliau berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau timpakan murka-Mu kepadaku.”
Beliau adalah seorang yang mencintai dua orang yang agung, yaitu Abubakar dan Umar (semoga Allah meridhoi mereka berdua).
Diantara kalam mutiara beliau yang lain, saat beliau berkata kepada putranya, “Wahai putraku, hindarilah sifat malas dan bosan, karena keduanya adalah kunci setiap keburukan. Sesungguhnya engkau jika malas, maka engkau akan banyak tidak melaksanakan kewajiban. Jika engkau bosan, maka engkau tak akan tahan dalam menunaikan kewajiban.”
Di antara kalam mutiara beliau yang lain, “Jika engkau menginginkan suatu kenikmatan itu terus padamu, maka perbanyaklah mensyukurinya. Jika engkau merasa rezeki itu datangnya lambat, maka perbanyaklah istighfar. Jika engkau ditimpa kesedihan, maka perbanyaklah ucapan ‘Laa haula wa laa quwwata illaa billah’. Jika engkau takut pada suatu kaum, ucapkanlah, ‘Hasbunallah wa ni’mal wakiil’. Jika engkau kagum terhadap sesuatu, ucapkanlah, ‘Maa syaa’allah, laa quwwata illaa billah’. Jika engkau dikhianati, ucapkanlah, ‘Wa ufawwidhu amrii ilaallah, innaallaha bashiirun bil ‘ibaad’. Jika engkau ditimpa kesumpekan, ucapkanlah, ‘Laa ilaaha illaa Anta, Subhaanaka innii kuntu minadz dzolimiin.’ “
Beliau wafat di kota Madinah pada tahun 117 H (dalam riwayat lain 114 H atau 118 H) dan disemayamkan di pekuburan Baqi’, tepatnya di qubah Al-Abbas disamping ayahnya. Beliau berwasiat untuk dikafani dengan qamisnya yang biasa dipakainya shalat. Beliau meninggalkan beberapa orang anak, yaitu Ja’far, Abdullah, Ibrahim, Ali, Zainab dan Ummu Kultsum. Putra beliau yang bernama Ja’far dan Abdullah dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Farwah bintu Qasim bin Muhammad bin Abubakar Ash-Shiddiq.
Radhiyallohu anhu wa ardhah…
[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy

Silsilah Nasab Al Imam Al Muhajir

Beliau adalah Saiyid Ahmad Al Muhajir bin Isa Al Naqieb bin Muhammad bin Ali Al Uraidli bin Ja’far Al Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al Imam Al Husain Al Sibth bin Al Imam Ali bin Abi Thalib dan Fatima Al Zahra Putri Nabi Muhammad SAW.

Biografi Al Imam Al Muhajir
Al Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa lahir di kota Bashra Iraq tempat tinggal keluarga dan sanak saudaranya, para ahli sejarah berselisih tentang tanggal kelahiran Al Imam Al Muhajir, namun Saiyid Muhahammad Dhiya’ Shihab dalam kitab beliau yang berjudul Al Imam Al Muhajir mengatakan: sejauh pengetahuan kami tak seorang pun yang mengetahui umur Al Imam Al Muhajir secara pas, boleh jadi karena literature yang mengungkapkan hal tersebut telah sirna, akan tetapi dari sedikit data yang kami miliki kami dapat mengambil satu kesimpulan, dan boleh jadi kesimpulan yang kami ambil ini sesuai dengan fakta, lalu dia mengatkan setelah dipelajari dan diperbandingkan dari sejarah pekerjaan anak-anak beliau dan sebagian guru-guru beliau, bisa disimpulkan bahwa Al Imam Al Muhajir dilahirkan pada tahun 273 H. Saiyid Salim bin Ahmad bin Jindan mengatakan di kitab Muqaddimah Musnad-nya bahwa Al Muhajir belajar kepada Al Nablisi Al basri ketika beliau berumur 4 th, dari sini disimpulkan bahwa beliau dilahirkan pada 279H.
Al Muhajir tumbuh dan berkembang dibawah Asuhan kedua orang tua nya dengan nuansa keilmuan religi yang sangat kental, demikina diungkapkan oleh Saiyid Muhammad bin Ahmad Al Shatiri, dalam kitabnya Adwaar Al Tarikh Al Hadhramy.
Masa yang dilalui Al Muhajir adalah masa yang dipenuhi dengan ragam peradaban dan warna-warni ilmu pengetahuan, seperti ilmu Shariah, filsafat, falak, satra, tasawuf, matematika dan lain-lain, dikatakan bahwasanya Al Muhajir banyak mengambil riwayat dari ulama’ pada zamannya, diantara mereka, Ibnu Mundah Al Asbahani, Abdul Karim Al Nisai, Al Nablisi Al bashri, banyak pula para ulama’ yang mengambil riwayat dari nya seperti Alhafidh Al Daulabi (di bashrah 306H), Ibnu Shaid, Al Hafidh Al Ajury, Abdullah bin Muhammad bin Zakariya Al Aufi Al Muammar Al Bashri, Hilal Haffar Al Iraqi, Ahmad bin Said Al Ashbahani, Ismail bi Qasim Al Hisasi, Abu Al Qasim Al Nasib Al Baghdadi, Abu Sahl bin Ziyad, dan lain-lain.
Sebagaimana disebutkan bahwa masa ini makmur dengan ilmu dan budaya namun disisi lain masa ini pun marak dengan fitnah, pertikaian, bentrok pemikiran dan senjata, Al Muhajir memandang masa itu sebagai masa kritis yang penuh dengan cobaan dan penderitaan, Negara-negara islam mulai meleleh persatuan pandangan dan politiknya, dan berkembang menjadi unstabilitas sosial dan pertumpahan darah.
Revolusi Negro dan Fitnah Karamitah
Kehidupan Al Muhajir semenjak muda hingga dewasa diwarnai dengan guncangan-guncangan social dibashrah[1] dan Iraq secara umum, mulai dari revolusi negro yang berawal pada tahun 225, pada masa pemerintahan Negri Abbasiyah, sampai fitnah yang disebarkan oleh Karamitah, sebuah sekte yang dipimpin oleh Yahya bin Mahdi di Bahrain, dia dengan para pengikutnya bekerja keras untuk membiuskan paham-pahamnya disemua lapisan masyarakat dan menggunakan situasi guncang akibat revolusi negro dan fitnah Khawarij untuk memepercepat pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Terpencarnya Bani Abi Thalib
Seorang Ahli Sejarah, Abdullah bin Nuh menuliskan dalam tambahannya untuk kitab Al Muhajir hal 37 tentang kesaksian Al Muhajir tentang terpencarnya Bani Alawi ke penjuru dunia, seperti India, Sumatra, kepulauan Ujung timur, dan perbatasan cina, yang mana hal ini merupakan sebab tersebarnya agama islam diseluruh dunia.
Kepribadian Al Muhajir di Bashrah[2]
Kepribadian Almuhajir dibentuk oleh suasana yang penuh dengan pertentangan, ilmu, sastra, falsafat, pertumpahan darah, rasa takut, pertikaian disamping giatnya gerakan roda perdagangan dan pertanian, bahkan Almuhajir menyaksikan kapal-kapal besar bersandar di Bashrah dengan membawa barang dagangan hasil bumi, dan orang-orang dari berbagai bangsa. Keluarga Al Muahajir termasu keluarga terhormat yang bersih hatinya, penuh keberanian, kedudukan dan kekayaan dibarengi dengan taqwa dan istiqamah. Saudara Al Muhajir Muhammad bin Isa adalah panglima perang dan pemimpin expansi wilayah islam.
Hijrah Al Muhajir dari Bashrah
Hijrah Al Imam Al Muhajir di dorong oleh keinginan untuk menjaga dan melindungi keluarga dan sanak familinya dari bahaya fitnah yang melanda Iraq diwaktu itu.
Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Al Muhjir memutuskan untuk hijrah ke hijaz, maka disodorkanlah berbagai alasan untuk meyakinkan keluarga dan sanak familinya untuk meninggalkan bashrah, dan mereka pun menyetujui usulan Al Muhajir. Hijrah Al Muhajir terjadi pada 317 H dari Bashrah ke Al MAdinah Al Munawwarah. Diantara keluarga dan sanak famili Al Muhajir yang ikut berhijrah bersama Al Muhajir adalah:
1. Al Imam Al Muhajir Ilaa Allah Ahmad bin Isa.[3]
2. Zainab binti Abdullah bin Hasan Al Uraidli Isteri Al Muhajir
3. Abdullah bin Ahmad putra Al Muhajir
4. Ummul Banin binti Muhammad bin Isa bin Muhammad Isteri Abdullah bin Ahmad.
5. Ismail bin Abdullah bin Ahmad yang dijuluki dengan Al Bashry
6. Al Syarif Muhammad bin Sulaiman bin Abdillah kakek Keluarga Al Ahdal[4].
7. Al Syarif Ahmad Al Qudaimi kakek keluarga Al Qudaim [5]
8. 70 orang dari oarng-orang dekat Al Muhajir diantara mereka: hamba sahaya Al Muhajir, Jakfar bin Abdullah Al Azdiy, Mukhtar bin Abdullah bin Sa’ad, dan Syuwaiyah bin Faraj Al Asbahani.
Rombongan Al Muhajir berhijrah ke madinah melalui jalan Syam karena jalan yang biasa dilalui kurang aman[6], dan sampai di Madinah pada tahun 317, konon di tahun ini terjadi fitnah besar di Al Haramain, gerakan Karamithah masuk ke Makkah Al Mukarramah di musim haji dan membuat keributan di sana serta mengambil hajar aswad dari tempatnya[7]. Pada tahun berikutnya 318H Al Muhajir beserta keluarga berngkat ke Makkah untuk melaksanakan Ibadah Haji, konon para jamaah haji pada tahun itu hanya meletakkan tangan mereka di tempat hajar aswad, disaat melaksanakan Ibadah haji Al Muhajir bertemu dengan rombongan dari Tihamah dan Hadhramaut, belajarlah mereka dari Al Muhajir ilmu dan akhlak, dan mereka menceritakan kepada Al Muhajir tentang fitnah Al Khawarij di Hadhramaut dan mengajak Al Muhajir untuk membantu mereka menyelesaikan fitnah itu lantas Al Muhajir menjanjikan untuk datang ke negeri mereka.
Perjalanan ke Tihamah dan Hadhramaut.
Hadhramaut pada waktu itu berada dibawah pengaruh Abadhiyah suatu gerakan yang dipelopori oleh Abdullah bin Ibadh Al Maady, gerakan ini pertama kali muncul pada abad kedua hijriah dibawah pimpinan Adullah bin Yahya Al Amawi yang menjuluki dirinya sebagai pencari kebenaran[8].
Al Mas’udi dalam kitab sejarahnya menuliskan “Alkhawarij masuk Hadhramaut dan pada saat itu kebanyakan penduduknya adalah pengikut aliran Ibadhiyah dan sampai saat ini (332 tahun penulisan buku tersebut) dan tidak ada perbedaan antara Khawarij yang ada di Hadhramaut dengan yang ada di Oman. Akan tetapi aliran Ibadhiyah dan Ahlu Sunnah tetap hidup di Hadhramaut meskipun pengaruh Khawarij lebih menyeluruh di wilayah Hadhramaut samapi datangnya Al Muhajir.
Mengapa Al Muhajir memilih untuk berhijrah ke Hadhramaut?
Dhiya Syihab dalam kitabnya Al Imam Al Muhajir mengatakan, apakah motivasi Al Muhajir untuk berhijrah ke hadhramaut adalah harta? Hadhramaut bukanlah negri yang berlimpah harta dan dia pun seorang yang kaya raya, ataukah hijrah Al Muahjir adalah untuk membantu rakyat hadhramaut, dan mencegah merembetnya fitnah Karamitah yang terus meluas? Sebenarnya kondisi dan peristiwa-peristiwa diatas adalah alas an utama kenapa Al Muhajir berhijrah ke Hadhramaut, sesuai ayat “Alam takun ardlu Allahi waasi’atan fatuhaajiruu fiihaa” artinya tidakkah bumi Allah itu luas sehingga kamu berhijrah dan hadist ” yuu syiku an yakuuna khairu maali al muslim ghanamun yatba’u biha sya’afa al jibal wa mawaqi’a alqatar ya firru bidiinihi min al fitan” artinya dikhawatirkan akan dating suatu masa dimana harta yang paling berharga bagi seseorang adalah kambing, dia membawanya kearah pegunungan dan kota-kota untuk melarikan diri menyelamatkan agamanya dari fitnah. Maka Allah menjadikan hijrah Al Muahajir ke Hadramaut sebagai donator dan petunjuk sebab dengan hartanya Al Muhajir membangun banyak infrastruktuk yang lapuk dimakan zaman dan dengan kehadirannya Allah menyadarkan banyak dari orang-orang yang fanatic buta kepada Kahawarij.
Rombongan Al Muhajir diantara Tihamah dan Hadhramaut.
Saiyid Muhammad bin Sulaiman Al Ahdal salah satu dari anggota rombongan memutuskan untuk menetap di Murawa’ah di Tihamah[9], sedangkan saiyid Ahmad Al Qudaimy memutuskan untuk menetap di lembah Surdud di Tihamah, dan dengan izin Allah SWT mereka menjadi tonggak berkembangnya keturunan Nabi Muhammad SAW di negri tersebut, adapun Al Muhajir dia tetap meneruskan perjalanan hingga sampai di desa Al Jubail di lembah Doan, konon penduduknya merupakan pecinta keluarga Nabi Muhammad SAW dan mereka dapat banyak belajar dari Al Muhajir, kemudian pindah ke Hajren disana terdapat Al Ja’athim termasu kabilah Al Shaddaf yang merupakan pengikut aliran Sunny[10], disana Al Muhajir mangajak semua golongan untuk bersatu di bawah panji islam dan mempererat tali persaudaraan diantara mereka, maka banyaklah diantara orang-orang kahawarij yang sadar dan taubat kembali kejalan yang benar, ketika di Hajren Al Muhajir ditemani dan dibela oleh para petua dari kabilah ‘afif. Al Muhajir membeli rumah dan kebun korma di hajren yang kemudian dihibahkan ke hamba sahaya nya Syuwaiyah sebelum pindah dari Hajren.
Dan setelah keluar dari Hajren Al Muhajir singgah dan bertempat tinggal di kampung Bani Jusyair didekat desa Bur yang mana penduduknya pada saat itu adalah Sunny, disitu Al Muhajir berdakwah dengan sabar dan sopan, kemudian pindah lagi ke desa Al Husaiyisah[11] dan disana membeli tanah perkebunan yang dinamakan Shuh di atas desa Bur. Pada periode ini Al Muhajir banyak menarik perhatian orang di daerah itu sehingga mereka banyak mengikut langkah sang Imam, kecuali beberapa golongan dari kahawarij, hal ini yang menyebabkan Al Muhajir mendatangi mereka untuk memahamkan mereka.
Al Imam Al Muhajir dan Khawarij
Hadirnya Al Muhajir di Hadhramaut merupakan peristiwa besar dalam sejarah, sebab kehadiran Al Muhajir di Hadhramaut membawa perubahan besar di daerah itu, Yaman ketika itu diperintah oleh Al Ziyad di Yaman utara, namun penduduk Hadhramaut memiliki hak untuk menetukan perkara mereka, tidak semua penduduk Hadhramaut pada saat itu bermadzhab Ibadhi, terbukti keluarga Al Khatib dan Ba Fadhal dari Tarim pada saat itu masih berpegang teguh dengan aliran yang benar.
Imam Muhajir selalu berdiskusi dengan para pengikut Abadhiyah dengan bijaksana dan teladan yang mulia, yang mana hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para lawan diskusinya dan menimbulkan simpati mereka, Khawarij adalah mazhab yang menerima diskusi tentang madzhab mereka dan mereka pun banyak berdiskusi dengan para ulama di banyak hal, sedangkan Al Imam Al Muhajir merupakan sosok yang ahli dalam hal meyakinkan lawan bicara. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Saiyid Al Syatiri dalam kitabnya “Al Adwar” halaman 123, sehingga aliran Al Abadhi perlahan-lahan terkikis dan habis di hadhramaut dan digantikan dengan mazhab Al Imam Syafii dalam hal pekerjaan dan Imam Al Asy’ary dalam hal Aqidah.
Adakah bentrok senjata antara Al Muhajir dan Khawarij?
Para ahli sejarah berselisih pendapat tentang terjadinya kontak senjata antara Al Muhajir dengan Khawarij, sebagian menyatakan terjadinya hal itu dan meriwayatkan kemenangan Al Muhajir atas kaum Khawarij, sebagian lagi menafikan hal tersebut.
Saiyid Al Syathiri dalam kitabnya “Al Adwar” menafikan terjadinya kontak senjata diantara kedua belah pihak, dkatakanjuga bahwa pendapat ini di ambil karena dari sekian referensi sejarah yang ada pada nya tidak satupun yang memaparkan tentang terjadinya kontak senjata diantara kedua belah pihak demikian juga para penulis sejarah Hadhramaut dari kurun terakhir[12], adapun Saiyid Dhiya Syihab dan Abdullah bin Nuh dalam kitab Al Muhajir menyatakan terjadinya perang Bahran[13] namun keduanya tidak mencantumkan referensi yang memperkuat pendapat tersebut.
Saiyid Abdul Rahman bin Ubaidillah mengatakan bahwa Al Muhajir dan putra-putra nya terus menrus melancarkan argument-argumen kepada Ibadhiyah sampai mereka kehabisan dalil dan pegangan, dikatakan juga bahwa Al Muhajir melumpuhkan kekuasaan Abadhiyah dengan cara melancarkan argument-argumen yang membuktikan kesalahan mazhab mereka, Syeh Salim bin Basri mengatakan Al Muhajir membuka kedok bid’ah Khawarij dan membuktikan kesalahannya, pendapat keduanya didukung pula oleh Al Faqih Al Muqaddam.
Al Imam Al Muhajir dan nasab mulianya
Sebagian penulis mengangkat tajuk pada tulisan mereka mengenai nasab Ahlu Bait Nabi Muhammad SAW, banyak diantara mereka yang menanamkan keraguan tentang Ahlu bait, motivasi mereka untuk mengangkat tema itu bermacam-macam diantara mereka ada yang hanya ingin mendapatkan pencerahan sehingga lebih meyakinkan mereka, ada pula diantara mereka yang ingin menjatuhkan Ahlu bait karena iri dan dengki terhadap mereka.
Berangkat dari kenyataan ini Al Imam Al Muhajir sebelum berangkat ke Hadhramaut telah menyusun nasabnya dan anak-anaknya smapai Rasulullah SAW, sebelumnya keluarga Al Muhajir nasab dan silsilahnya sudah terkenal di kota Bashrah, seandainya bukan begitu ini merupakan titik lemah yang bisa digunakan oleh Khawarij untuk menumbangkan dalill-dalil Al Muhajir.
Sepeninggal Al Imam Al Muhajir beberapa orang ulama Hadhramaut berinisiatif untuk mencari bukti yang membenarkan nasab Al Imam Al Muhajir, Syeh Ba Makhramah dalam kitab tarikh nya mengatakan: Ahmad bin Isa ketika datang di Hadhramaut, penduduk kota itu mengakui kemulyaan dan keagungannya, lantas mereka ingin membuktikan pengakuan mereka lantas 300 orang mufti di Tarim pada saat itu mengutus seorang ahli hadist Al Imam Ali bin Muhammad bin Jadid ke Iraq untuk membuktikan hal tersebut[14], lantas sang imam pulang dengan membawa nasab mulia Al Muhajir.
Saiyid Alwi bin Thohir membeberkan masalah ini di salah satu artikelnya yang di muat di majalah Rabithah Alawiyah(2/3:95M) dan mengatakan, kemulayaan Al Muhajir, keberadaan famili dan handai taulannya di Bashrah, tinggalnya Muhammad putra Al Muhajir di bashrah untuk menjaga harta bendanya, dan putra putri Ali, hasan, dan Husain, kedatangan Saiyid Jadid bin Abdullah untuk melihat harta benda itu, kesaksian penduduk Iraq akan kebenaran nasab Al Muhajir dan pengembangan harta Al Muhajir dari Iraq oleh anak cucunya di Hadhramaut, adanya saudara dan ipar Al Muhajir di Iraq, adanya hubungan yang continyu diantara mereka, adanya kabilah Bani Ahdal dan Bani Qudaim di Yaman, ini semua merupakan bukti akan kebenaran nasab Al Muhajir, tidaklah mudah bagi Saiyid Ali Bin Muhammad bin Jadid untuk mendapatkan bukti ini sepeninggal kakek-kakenya selama bertahun-tahun bila nasab tersebut tidak terkenal di Bashrah, karena Ali dilahirkan di Hadhramaut bergitu juga Ayahnya Muhammad bin Jadid, akan tetapi hubungan antara mereka dengan keluarga yang di Iraq setelah kepergian mereka tidak putus.
Diantara para penulis yang mengulas luas tentang nasab Al Muhajir da puta-putra nya adalah:
1. Al Majdi, Al Mabsuth, Al Masyjar, yang ditulis oleh Ahli nasab, Abu Hasan Najm Al Diin Ali bin Abi Al Ghanim Muhammad bin Ali Al Umri Al Bashri, meninggal tahun 443.
2. Tahdhib Al Ansaab, Tulisan tangan Al Allamah Muhammad bin Ja’far Al Ubaidli, meninggal tahun 435.
3. Umdatu Al Thalib Al Kubra, ditulis oleh ahli nasab Al Allamah Ibn Anbah Jamal Al Diin Ahmad bin Ali bin Husain bin Ali bin mihna Al Dawudi.
4. Al Nafhah Al Anbariyah Fi Ansab Khairil Briyah, ditulis oleh Al Allamah Ibn Abi Al Fatuh Abi Fudhail Muhammad Al Kadhimi, meninggal tahun 859.
5. Tuhfatu Al Thalib Bi Ma’rifati Man Yantasib Ilaa Abdillah Wa Abii Thalib, ditulis oleh Al Allamah Al Muarrikh Abi Abdillah Muhammad bin Al Husain Al Samarqandi Al Makky, meninggal tahun 996.
6. Zahru Al Riyadh Wa Zalalu Al Hiyaadl, ditulis oleh Al Allamah Dlamin bin Syadqam, meninggal tahun 1085.
Ibn Anbah dan AL Imam Al Murtadla memiliki dua kitab berbeda tentang nasab ini dan belum dicetak, adapun kitab yang ditulis secara modern tentang nasab Ahlu bait antara lain Dirasaat Haula Ansaab Alu bait oleh Saggaf bin Al Alkaff., Tazwiid Al Rawi oleh Saiyid Muhammad bin Ahmad Al Syathiri. Jadi permasalahannya sekarang bukan karena kurangnya literature atau referensi tapi karena hilangnya prinsip amanah dan hantaman dari para pengkhiyanat, juga karena kurangnya tingkat pengetahuan syariah sebagian Ahlu bait dan terpengaruhnya mereka oleh budaya orientalist, yang terus merongrong zona islam.
Meninggalnya Al Imam Al Muhajir
Setelah perjuangan yang tanpa mengenal lelah dan penuh kesabaran Al Imam Al Muhajir berhasil menanamkan metode Da’wah ila Allah dengan cara khusus beliau, dan berhasil pula menanamkan paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Hadhramaut, akhirnya Al Muhajir berpulang kehadirat Allah SWT pada tahun 435 H, dan di makamkan di Al Husyaisyiah tepatnya di Syi’b Makhdam, dan dapat diziarahi sampai hari ini.
Dimakamkan pula disekitar Kuba Al Muhajir Saiyid Al Allamah Ahmad Al Habsyi, dahulu diadakan setiap tahunnya peringatan masuknya Al Imam Al Muhajir ke Hadhramaut kemudian peringatan ini sempat terputus, lalu diadakan lagi namun dalam bentuk lebih terbatas, dan pada tahun 1422H ditambahkan nbeberapa peringatan yang sesuai dengan zaman, seperti seminar tentang samapainya Al Imam Al Muhajir di Hadhramaut, yang diisi didalamnya denagn study tentang sosok Al Muhajir, sejarah, ilmu, dan pengaruh perpindahannya ke Hadhramaut dalam kuliah-kuliah yang diadakan di Tarim dan Seiyun, dan harapan kami hal ini akan menjadi adat setiap tahun yang akan membiaskan gambaran ilmu dan sejarah yang telah ditorehkan oleh sekolah Al Muhajir dan orang-orang setelahnya demi membela islam, umat, dan negri.
[1] .oranr-orang negro mengadakan revolusi di effrat Basharh dibawah pimpinan seseorang dari Azarigah dari desa Drifin bernama Bahlul dan menjuluki dirinya Ali bin Abdul Rahim dari qabilah Abdul qais dari Bahrain, dia menggembar-gemborakan pembebasan para budak di Basrah dan sekitarnya, akhirnya dia berhasil mengambil hati para budak dan mengajak mereka untuk meninggalkan tuan-tuan mereka, lalu dia pindah ke Baghdad selam setahun kemudian kembali lagi ke Bashrah dan diperangi oleh Al Mu’tamad pada tahun 256 namun kemenangan ada di tangan para orang negro, sehingga penduduk Basrah pun meninggalkan negri mereka, tahun 357 orang-orang negro menguasai Bashrah dan banyak membantai penduduknya serta merusak dan membakar masjid-masjid serta menyalakan api diseluruh penjuru kota. (Al Muhajir)12-22.
Disebutkan juga bahwa diantara factor yang menyebabkan kemenangan orang negro adalah pertahanan kota sangat rapuh disebabkan karena perpecahan partai, tampaknya kota ini saat itu dilanda pertikaian antara Rabi’iyin yaitu Syiah, dan Al Sa’adiyin yaitu Sunny (Al Muhajir)23. masa kekuasaan Orang-orang negro berakhir pada tahun 280 setelah perang yang berlangsung selama 14 tahun, namun pengaruh fitnah ini berlangsung lama sekali.
[2] . Abdullah bin Nuh di tambahannya untuk kitab Al Muhajir mengatakan: Ahmad Al Muhajir adalah sosok yang sangat dermawan, berwibawa, berilmu dan senang menyantuni yang lain, kakeknya Muhammad bin Ali adalah putra bungsu ayahnya, lahir di Madinah Al Munawarah kemudian pindah ke Bashrah dan meninggal disana pada tahun 203, kakek Al Muhajir Ali Al Uraidli bin Imam Jakfar Al Shadiq, dinamakan al Uraidli karena dilahirkan di Al Uraidl suatu daerah berjarak 4 mil dari madinah, kakek AL Muhajir merupakan putra bungsu Ayahnya ditinggal mati ayahnya pada saat dia masih kecil lantas berhijrah bersama sudaranya Muhammad bin Ja’far ke Makkah ketika kakaknya melakukan gerrakan disana, dan berhijrah bersama Muhammad bin Muhammad bin Zaid ketika dia memimpin gerakannya di Iraq, lantas ke Khurasan kemudian Bashrah, penduduk Kufah mengundang beliau untuk singgah di sana, lantas beliau berangkat kesana dan tinggal disana beberapa waktu, ketika itu paenduduk Kufah benyak mengambil faidah dari keberadaan beliau, meninggal tahu 210 .
[3] . Para ahli sejarah sepakat untuk menjuluki Ahmad bin Isa dengan julukan Al Muhajir semenjak beliau hijra dari Iraq ke Hijaz yang kemudian menetap di Hadhramaut, Saiyid Muhammad bin Ahmad Al Syathiri dalam kitab “Al Adwar” menuturkan, sebab penjulukan Ahmad bin Isa dengan Al Muhajir karena dia Hijrah dari Bashrah ke Hadhramaut dengan sebab perbaikan, terutama jaminan keselamatan agamanya dan agama para pengikutnya, dan hijrah yang semacam ini bukan termasuk hijrah Bid’ah, karena hijrah semacamini sudah biasa dilakukan olah keluarga Nabi SAW, dimulai dari hijrah beliau dari Makkah ke Madinah yang kemudian diikuti oleh Al Imam Ali bin Abi Thalib ketika berhijrah ke Iraq Dari Hijaz, dan anak turunnya seperti Al Imam Husain bin Ali, Al Imam Zaid bin Ali bin Husain, Muhammad bin Nafs Al Zakiyah bin Abdullah Al Mahdh bin Al Husain Al Muthanna bin Al Hasan Al Sabt dan kedua saudaranya Ibrahim dan Idris moyang Bani Adarisah di Maghrib, dan lain-lain.(Al Adwar)(1:156)
[4] . Al Syarif Muhammad bin Sulaiman bin Abdullah bin Isa bin Alawi bin Muhammad bin Hamham bin Aun bin Al Imam Musa Al Kadhim bin Ja’far Al Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Al Uraidli….
Demikian disebutkan Sayyid Ali bin Al Husain Al Ahdal dalam kitab Bughyatu Al Thalib Li Ma’rifati Awlaad Ali bin Abi Thalib, Al Ahdal adalah julukan yang diambil dari kata Al Adna yang berarti terdekat, keturunan Bani Ahdal berkembang di Yaman Utara.
[5] . Sebagian kitab tentang nasab menyebutkan nasab Bani Al Qudaimi diantaranya Al Sirah Al Mustafawiyah Wal Ansab Al fathimiyah yang ditulis oleh Al Allamah Saiyid Alawi bin Abdul ARhman Al Saggaf AL Al Makky, disebutkan Anak turun Husain di laembah Sardad dan sekitarnya Bani Qudaimi, Bani Al Syajar, Bani Ahmad, Bani Wali, Bani Sufi, Bani Ismail, Bani Arab, Bani Al Jarufi, Bani Al Shiddiq, Bani Al Bahr, Bani AL Thalj, Bani Al Syah. Ke 13 kabilah ini keturunan Hasan bin Yusuf bin Hasan bin Yusuf bin Hasan bin Yahya bin Salim bin Abdullah bin Husain bin Ali bin Adam bin Idris bin Husain bin Muhammad Al Jawad bin Ali Al Ridla bin Musa Al Kadhim bin Ja’far Al Shadiq.
[6] . Jalur ini dinamakan jalur Zubaidah, dinamakan Zubaidah yang mana dia adalah istri Haru Al Rasyid karena dia mengeluarkan banyak biaya demi untuk perbaikan dan pengamanan jalur ini pada tahun 90, kemudian jalur ini rusak setelah masa Khalifah Al Mutawakkil.
[7] . Karamithah mengambil Hajar Aswad dan dibawa ke Hajar, kemudian dikembalikan lagi setelah kurang lebih 22 tahun, selama itu tempat Hajar Aswad kosong, mereka mengatakan kami ambil Hajara Aswad dengan kekuasaan Allah dan kami kembalikan lagi dengan kehendak Allah.
[8] . Pencari kebenaran muncul bersama sekelompok orang Khawarij pada saat itu, mereeka menyapu Hadharamaut dan sekelilingnya, menguasai Sana’a, menggempur kota Makkah, dan berperang dengan Bani Umaiyah samapi habisnya perlawanan Khawarij, saat itu terbunuh A’war dan beberapa pengikutnya yang kemudian kepala mereka dikeler ke Damaskus pada tahun 130, akan tetapi fitnaj mereka belum selesai juga.
[9] Di sebutkan dalam kitab Al Muhajir, Moyang Bani Ahdal sampai di Yaman, beliau adalah Muhammad bin Sulaiman, lantas beliau tinggal di desa Murawa’ah dekat dengan Baitul Faqih, anak cucunya berkembang samapai diantara mereka ada yang tinggal di lembah Sahm, Fakhriyah, Zabid, Abyat Husain , dan diantara mereka juga ada yang hijrah ke Hadhramaut.
[10] Hajren termasuk pusat pedesaan Shadaf, yang mana pedesaan ini memanjang di pertengahan lembah Doan sampai daerah Andal, Al Ahrum, dan sampai dekat Sadbah.
[11] Sebuah desa diantara Tarim dan Seiyun, dan merupakan desa yang makmur beliau membeli sebagian besar tanah di daerah Suh, daerah ini merupakan benteng yang terkenal didalamnya terdapat sumur yang terletak diatas kota Bur, sumur ini digali oleh Saiyid Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir dan di pagari dengan bebatuan besar disetiap batu di ukur nama beliau.
Al Husyaisyah sekarang tak berpenduduk dan rusak diceritakan bahwa rusaknya Al Husyaisyah ditangan Agil bin Isa Al Shabirati tahun 839.
[12] Saiyid Al Syathiri menukil dari Saiyid Al Allamah Abdullah bin Muhammad Al Saqqaf dalam komentar beliau untuk kitab Rihlatul Asywaaq Al Qawiyyah karangan Ba Kathir, di sebutkan didalamnya terjadinya bentrok senjata diantara mereka, kemudian dikatakan : sebuah pertempuran terjadi di Buhran ketika Al Muhajir masih tinggal di Al Hajrain ketika itu kekuasaan Abadliyah runtuh, setelah itu Al Muhajir pindah dari Al Hajrain menuju kampung Bani Jusyair, lantas Al Syatiri mengatakan: akan tetapi saya telephon Al Saqqaf dan memintanya untuk menyebutkan referensi pendapatnya, namun dia tidak menjawab. Sebagian orang menisbatkan pendapat ini kepada Al Marhum Ahmad bin Hasan Al Attas, dan belum diketahui referensi aslinya, Muhammad bin Aqil bin Yahya mengatakan di komentarnya atas kitab Diwan Ibn Syihab , bahwa Al Muhajir dan anak cucunya nya sampai abad ke 6 H memerangi kaum Abadhiyah kemudian mereka melepaskan senjata, tapi belum diketahui referensinya, boleh jadi mereka mengambil kesimpulan bahwa Bani Alawiyin selalu menggunakan senjata untuk perang dan grilya, tapi pendapat semacam ini tidak bisa langsung diterima tanpa ada bukti tertulis, karena bersenjata barang kali itu hanya tradisi atau untuk membela diri semata.(Al Adwar 150;1)
[13] Bahran adalah padang pasir terletak diantara Al Hajrain dan desa Sadbah, peduduknya dari Kabilah Kindah.
[14] Sebagian orang menganggap kata kata (ingin membuktikan) adalah peraguan atas nasab Al Muhajir, tapi betapapun kata yang di gunakan penulis hal itu tidak mengandung penafian ataupun pembuktian, sebagaimana yang dilontarkan sebagian orang.

Senin, 30 Januari 2012

Syiah Menghina Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Ahlul Bait












Syi’ah secara dusta mengaku sebagai pecinta ahlul bait.
Ucapan dan perbuatan mereka bertolak belakang dengan klaim mereka. Hal seperti ini tidaklah aneh atau asing pada diri anak cucu Majusi. Mereka telah berani menginjak-injak rumah tangga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka telah menghina Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam –semoga Allah melaknat mereka- mereka telah menghina istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjadi ibu-ibu bagi kaum mukminin.

Mereka juga telah berani menginjak-injak imam pertama mereka yang diyakini ma’shum. Sifat mereka ini menjadi sempurna dengan menghinakan al-Hasan, al-Husain, Ali ibn al-Hasan dan para imam lainnya. Sebagaimana pula mereka telah menghina putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan yang utama adalah Fathimah az-Zahra’ Radhiyallahu ‘Anha. Ini belum lagi dengan penghinaan mereka terhadap semua Nabi dan Rasul.

Ash-Shadug di dalam kitab “al-Amal” meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Ali Radhiallahu ‘Anhu: “Seandainya aku tidak menyampaikan apa yang aku diperintah dengannya dari perkara wilayahmu (kepemimpinanmu) maka leburlah seluruh amalku.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalain, jilid I, hal 654).

Sepertinya Allah yang Maha Suci tidak mengutus Rasul-Nya yang mulia melainkan hanya untuk menyampaikan wilayah Ali. Orang-orang yang tidak tahu diri itu telah mengecilkan kedudukan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam demi mewujudkan kepentingan dan tujuan mereka yang kotor. Ini semua mereka lakukan karena mustahil bagi mereka untuk mendatangkan bukti dan dalil tentang wilayah Ali Radhiyallahu ‘Anhu.

Al-Bahrani menukil dari as-Syyid ar-Ridah dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia berkata: “Saya keluar menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saya dapati beliau sedang ruku’ dan sujud, beliau berdo’a, “… Ya Allah dengan (demi) kehormatan hamba-Mu Ali ampunilah orang-orang yang bermaksiat dari umatku.” (Al-Burhan fi Tafsir Al-Qur’an, jilid IV, hal 226).

Coba perhatikanlah kenistaan ini, yang dengannya mereka ingin menunjukkan keutamaan Ali Radhiyallahu ‘Anhu di atas Rasul yang diutus sebagai rahmat untuk alam semesta dan yang menjadi sayyid bagi manusia dari awal hingga akhir, Sayyid kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

An-Nu’mani secara dusta meriwayatkan dari imam Muhammad al-Baqir ‘Alaihi Sallam, ia berkata: “Ketika imam Mahdi muncul ia didukung oleh para malaikat dan orang pertama yang membai’atnya adalah Muhammad ‘Alaihi Sallam kemudian Ali ‘Alaihi Sallam.” Syaikh ath-Thusi meriwayatkan dari imam ar-Ridha ‘Alaihi Sallam bahwa di antar tanda-tanda munculnya al-Mahdi adalah dia akan muncul dalam keadaan telanjang di depan bulatan matahari.” (Al-Kafi fil-Ushaul, jilid I, hal 504),

Perhatikan baik-baik pengakuan mereka tentang pembai’atan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian Ali Radhiyallahu ‘Anhu kepada al-Mahdi yang diduga. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah makhluk Allah yang terbaik, apakah beliau akan berbaiat kepada orang yang di bawahnya? Berbaiat kepada orang yang telanjang bulat tanpa sehelai benang pun? Kerendahan macam apa yang dialamatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini?

Perhatikan orang-orang Syi’ah yang “dungu” itu. Mereka menetapkan telanjangnya keturunan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dia akan muncul di hadapan umat dalam keadaan telanjang! Apakah ini yang disebut sebagai penghormatan kepada ahlul bait? Ataukah ini justru menjadi penghinaan yang terang-terangan?!

Al-Qummi menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika ada di Makkah tidak ada orang yang berani mengganggu beliau karena kedudukan Abu Thalib. Mereka memprovokasi anak-anak kecil untuk mengganggu beliau.

Jika beliau keluar anak-anak kecil itu melemparinya dengan batu dan kerikil (dan debu). Maka beliau mengadukan hal itu kepada Ali Radhiyallahu ‘Anhu.” (Tafsir Al-Burhan, jilid II, hal 404).

Mereka meriwayatkan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mi’raj ke langit beliau melihat Ali Radhiyallahu ‘Anhu dan anak-anaknya yang telah sampai di sana sebelum Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Nabi mengucap salam kepada mereka. Padahal beliau telah berpisah dengan mereka di bumi. (Tafsir Al-Burhan, jilid II, hal 404).

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya: “Dengan bahasa apakah Rabb anda berbicara dengan anda pada waktu mi’raj?” Beliau menjawab: “Dia berbicara kepadaku dengan bahasa Ali bin Abi Thalib, hingga saya berkata “Engkaukah yang sedang berbicara kepadaku ataukah Ali?!” (Kasyf Al-Ghummah, jilid I, hal 106).

Aku memohon ampun kepada-Mu ya Ilahi…….!!! Kita biarkan kebebasan para pembaca yang mulia untuk menginterpretasikan apa yang dimaksud dengan riwayat yang keji ini!!

Mereka begitu rajin mengikuti langkah-langkah penghinaan, dengan berbagai rupa bentuk dan ukuran, sampai mereka meragukan kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena tiga putrinya; Zainab, Ummu Kultsum dan Ruqayyah. Hal ini terjadi ketika mereka menafikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai bapak mereka. Mereka –semoga dilaknat oleh Allah, para malaikat dan manusia semuanya-mengatakan bahwa “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melahirkan mereka, tetapi mereka adalah anak-anak tirinya.”

Muhsin al-Amin menambahkan: “Para sejarawan menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya memiliki empat putri, dan setelah meneliti teks-teks sejarah ternyata kita tidak mendapatkan bukti yang menetapkan adanya putri Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selain Fathimah az-Zahra’.” (Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah asy-Syi’iyyah, jilid I, hal 27, Dar al-Ma’arif, Beirut; Kasyf al-Ghitha’, Ja’far An-Najefi, hal 5).

Apakah semisal mereka bisa disebut sebagai “pecinta ahlul bait”?!

Jika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak selamat dari kejahatan mereka, maka istri-istri beliau pun lebih tidak selamat. Bahkan telah keluar fatwa “kafir” bagi ibu-ibu kaum mukminin terutama Aisyah dan Hafshah Radhiyallahu ‘Anha. (Bihar Al-Anwar, jilid XXII, hal 227-247).

Cukuplah mengisyaratkan kepada apa yang beredar di kalangan Syi’ah bahwa firman Allah  “Dan Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat” (at-Tahrim: 10). Al-Qummi pembesar Syi’ah dalam bidang tafsir (dusta) itu menyatakan: ”Demi Allah yang dimaksud dengan pengkhianatan itu adalah zina. Artinya hendaklah menegakkan hukuman zina terhadap Fulanah yang telah melakukan zina dalam perjalanan ke Bashrah. Ada seorang laki-laki mencintainya, maka tatkala dia (Aisyah) hendak menuju Bashrah Fulan tadi berkata kepadanya: Kamu tidak halal pergi tanpa mahram. Maka dia mengawinkan dirinya dengan Fulan tersebut. (Bihar Al-Anwar, jilid XXII, hal 240-245; Tafsir al-Qummi, jilid II, hal 344).

Dan yang dimaksud dengan Fulan adalah Thalhah.

Kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa Aisyah Radhiyallahu ‘Anha adalah ibu bagi kaum mukminin semata.

Sebagaimana mereka menghina Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, putri-putrinya dan istri-istrinya, mereka juga telah menghina imam mereka yang pertama Ali Radhiyallahu ‘Anhu. (Menurut mereka), ketika mereka melukiskannya sebagai pengemis –wa al-‘iyadzu billah-. Telah disebutkan oleh Salim ibn Qais penulis buku Syi’ah pertama kali bahwa Ali telah menaikkan Fathimah di atas himar, dan ia menuntun al-Hasan dan al-Husain. Disebutkan bahwa Ali tidak meninggalkan satu shahabat pun melainkan ia telah mendatanginya di rumahnya untuk meminta haknya atas nama Allah. (Kitab Salim ibn Qais, hal 82-83).

Lihatlah penghinaan yang luar biasa ini, penghinaan terhadap Ali yang menuntun kedua putranya dan putrinya yang menaiki himar. Mereka berjalan berkeliling mendatangi rumah-rumah sahabat untuk meminta belas kasih mereka!!

Apakah sifat seperti ini layak bagi kedudukan ahlul bait dan bagi seorang pemimpin dari pemimpin-pemimpin kaum muslimin? Cerita, hikayat dan dongeng!

Sebagaimana al-Kulaini meriwayatkan di dalam al-Kafi bahwa Fathimah tidak suka diperistri oleh Ali. Riwayat itu sebagai berikut: “Tatkala Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahkan Ali dengan Fathimah ‘Alaihi Sallam. Ali masuk menemui Fathimah yang ketika itu ia menangis. Maka Ali menanyakan: “Apa yang membuatmu menangis?! Demi Allah seandainya dalam keluargaku ada yang lebih baik dengannya, aku tidak akan menikahkan engkau dengannya, dan aku tidak akan menikahkannya akan tetapi Allah yang telah menikahkannya”. (Al-Furu’ min al-Kafi).

Hingga imam mereka yang pertama dihina dan diturunkan derajatnya seperti ini?!
Di mana “cinta” yang selama ini diumbar? Di mana ia bersembunyi?

Disebutkan oleh al-Ashfahani dari Ibn Abu Ishaq bahwa ia berkata: “Aku dimasukkan oleh ayahku ke dalam masjid pada hari Jum’at. Ia mengangkatku maka aku melihat Ali berkhutbah di atas mimbar, dia adalah orang tua yang botak, menonjol dahinya, bidang dadanya (lebar jarak antara dua pundaknya), jenggotnya memenuhi dadanya dan lemah matanya.”(Maqatil ath-Thalibin, hal 27-48).

Sebagaimana mereka meyakini bahwa Ali adalah hewan bumi. Ja’far berkata “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendatangi amirul mukminin ketika ia tidur di masjid dan berbantal tumpukan kerikil yang ia kumpulkan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengerak-gerakkannya (menggugahnya) dengan kakinya kemudian mengatakan: “Bangunlah wahai “hewan Allah”. Maka seorang sahabatnya bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah sebagian kita boleh menyebut sebagian yang lain dengan nama ini?” beliau bersabda: “Tidak. Demi Allah. Nama tadi khusus untuknya.” (Bihar al-Anwar, jilid XIII, hal 213).

Inilah imam pertama mereka yang mereka katakan bahwa ia akan menjadi “Dabbah” (hewan melata)!

Betapa khawatirnya kita jika yang dimaksud adalah Ali Radhiyallahu ‘Anhu akan menjadi hewan tunggangan bagi al-Mahdi ciptaan Syi’ah. hasbunallah!!

Mereka pun telah menghina paman Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abbas dan putranya Abdullah dan juga ‘Aqil ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. Diriwayatkan oleh al-Kulaini bahwa Sudair bertanya kepada imam Muhammad al-Baqir: “Di manakah kecemburuan (ghirah) Bani Hasyim, kekuatan (syaukah) dan bilangan mereka yang banyak itu setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika dikalahkan oleh Abu Bakar, Umar dan orang-orang munafik lainnya?” Imam Muhammad al-Baqir berkata: “Siapa yang masih tersisa dari Bani Hasyim? Ja’far dan Hamzah yang menjadi bagian “as-Sabiqun al-Awwalun” dan “al-Mukminun al-Kamilun” telah meninggal dunia. Sementara dua orang yang lemah keyakinannya, yang hina jiwanya dan yang baru kenal Islam itulah yang tersisa, Abbas dan ‘Aqil.” (Hayat al-Qulub, jilid II, hal 846; Furu’ al-Kafi, jilid III, kitab ar-Rawdhah).

Sebagaimana Syi’ah telah menuduh Ibn ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu mencuri dari baitul mal di Bashrah sewaktu pemerintahan Ali Radhiyallahu ‘Anhu. Mereka mengklaim bahwa Ali naik mimbar dan berkhutbah ketika mendengar kabar, dia menangis dan berkata: “Ini adalah putra paman Rasulullah, dia dalam ilmu dan kedudukannya melakukan hal seperti ini…. Bagaimana bisa dipercaya orang-orang yang berada di bawah tingkatannya…. Ya Allah aku telah bosan dengan mereka, tenangkan aku dari mereka… dan cabutlah aku kepada-Mu bukan sebagai orang yang lemah.” (Rijal al-Kasysyi, hal 57).

Al-Majlisi telah menyebutkan dalam bahasa Persia yang artinya: “Muhammad al-Baqir meriwayatkan dari imam Zainal Abidin ‘Alaihi Sallam dengan sanad yang dapat diandalkan bahwa ayat ini “Barang siapa di dunia ini buta maka di akhirat dia (juga) buta dan lebih sesat jalannya (Qs Al-Isra’: 72) turun pada diri Abdullah ibn Abbas dan bapaknya.”

Inilah penghinaan Syi’ah terhadap paman Nabi, Abbas dan ‘Aqil dengan kelemahan, kehinaan dan pengecut serta tidak sempurna imannya. Begitu pula penghinaan terhadap Abbas dan putranya Habr al-Ummah Abdullah ibn Abbas Radhiallahu ‘Anhu. Adapun ayat tadi telah diturunkan tentang perihal orang-orang kafir……..Akan tetapi masalahnya bukan untuk orang yang melihat melainkan untuk orang yang memiliki!

Mereka juga telah menghina al-Hasan dengan ucapan yang sangat menyakitkan. Mereka berkata tentangnya: “Wahai orang yang menghinakan kaum mukminin.” (Rijal al-Kasysyi, hal 111).

Begitu juga mereka telah menghina Ali Zainal Abidin imam keempat yang ma’shum bagi mereka, mereka menuduhnya sebagai ornag yang pengecut dan budak. Telah disebutkan dalam al-Kafi bahwa putra Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir berkata: “Sesungguhnya Yazid ibn Muawiyah memasuki Madinah ingin menunaikan haji. Dia mengutus kepada seorang Quraisy. Setelah ia datang dia menanyainya, “Apakah engkau mengakui bahwa engkau adalah budakku, jika aku mau aku menjualmu dan jika aku mau aku menjadikan kamu budak?” Orang itu menjawab: “Demi Allah! Wahai Yazid hasabmu (kebaikanmu dan keluargamu) tidak lebih mulia dariku di kalangan Quraisy, ayahmu juga tidak lebih utama dari ayahku, waktu jahiliyah ataupun waktu Islam dan engkau juga tidak lebih mulia dan tidak lebih baik dariku dalam agama ini. Bagaimana aku mengakui permintaanmu?” Maka Yazid berkata: “Jika kamu tidak menyukainya, Demi Allah aku pasti membunuhmu.” Orang tadi menjawab: “Pembunuhan terhadapku olehmu tidak seagung pembunuhanmu terhadap al-Husain ibn Ali ‘Alaihi Sallam, putra Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Maka dia memerintahkan untuk membunuhnya. Dan terbunuhlah dia.

Kemudian dia mengutus kepada Ali ibn al-Husain ‘Alaihi Sallam, kemudian ia mengatakan kepadanya apa yang telah dikatakan kepada seorang Quraisy di atas. Maka Ali ibn al-Husain bertanya: “Bagaimana seandainya aku tidak mau mengakui apakah engkau akan membunuhku sebagaimana engkau membunuh orang yang kemarin?” Yazid berkata: “Allah melaknatinya, ya.” Maka Ali ibn al-Husain (Ali Zainal Abidin) ‘Alaihi Sallam berkata: “Aku mengakui apa yang engkau minta. Aku adalah hamba yang dipaksa, jika kamu mau pertahankanlah aku dan jika kamu mau juallah aku.” (Ar-Rawdhah min al-Kafi, jilid VIII, hal 234-235).

Mereka menjadikan imam mereka yang tidak lain adalah cucu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mau mengakui dirinya sebagai budak yang diperjualbelikan!

Kami tidak habis pikir, bukankah orang-orang Majusi saja telah memiliki prinsip “Hidup mulia atau mati mulia”.

Kalian benar-benar telah menghina ahlul bait secara habis-habisan hingga merampas harga diri dan kemuliaan!

Adapun Muhammad al-Baqir imam kelima yang ma’shum bagi mereka, juga telah merasakan sengatan orang-orang Syi’ah. Zurarah ibn A’yun menjulukinya sebagai: “Orang tua yang tidak mengerti ilmu permusuhan”. (Al-Kafi fi al-Ushul)

Dia juga berkata: “Allah merahmati Abu Ja’afar, sesungguhnya di dalam hatiku ada unsur berpaling dari padanya.” (Rijal al-Kasysyi, hal 152, Biografi Abu Bashir).

Dia juga berkata: “Sahabat kamu juga tidak memiliki pengetahuan tentang ucapan para tokoh (orang-orang besar).” (Rijal al-Kasysyi, hal 133).

Mereka juga menjuluki Ja’far, imam yang keenam sebagai “bermuka ganda”. Pernah ia memuji Abu Hanifah di hadapan Muhammad ibn Muslim, setelah ia keluar Ja’far mencelanya. Hal ini diriwaytkan oleh al-Kulaini dalam kisah yang panjang.

Mereka menasabkannya kepada Ja’far bahwa ia berkata: “Sesungguhnya aku berbicara di atas 70 wajah, di dalam semuanya ada jalan keluar bagiku.” (Bashair ad-Darajat, jilid III).

Ahli hadits mereka, Muhammad al-Baqir al-Majlisi dalam kitan Jala’ al-‘Uyun menyebutkan: “Dari kakekku dari Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Jika dilahirkan Ja’far ibn Muhammad ibn Ali ibn al-Husian maka julukilah “shadiq”, karena jika lahir anak kelima dari anak-anaknya (ash-Shadiq) yang bernama Ja’far dan mengaku sebagai imam secara dusta dan membuat kebohongan atas nama Allah, dia di sisi Allah adalah Ja’far al-kadz-dzab.” (Jala’ al-‘Uyun, Al-Majlisi, hal 348).

Yang mereka maksud dengan Ja’far al-kadz-dzab adalah putra imam yang suci salah satu imam ma’shum bagi Syi’ah. Ja’far al-kadz-dzab berdasarkan klaim mereka adalah saudara kandung imam ghaib, Muhammad al-Hasan al-‘Ashari (al-Mahdi, imam kedua belas).

Sebagaimana mereka berkata tentangnya: “Dia pelaku maksiat secara terang-terangan, fasik, rusak, pemabuk berat, tokoh paling rendah yang pernah aku lihat dan yang paling menghina diri sendiri, tak bernilai dan tak berharga!” (Jala’ al-‘Uyun, Al-Majlisi, hal 348).
Setelah ini semua apakah Syi’ah pecinta ahlul bait?! Sesungguhnya ahlul bait lebih mulia dan lebih suci dari pada bangkai-bangkai seperti mereka itu! Yang anjing pun tidak akan sudi mengendusnya!!

[Syiahindonesia.com].